RSS FEED

UU NO 20 TAHUN 2000 TTG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2000

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997
TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang :

bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, serta menciptakan sistem
perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan
negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri dan untuk menampung
penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang di bidang perolehan hak atas tanah dan
bangunan, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama
Tahun 1999;

2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3688);

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Menjadi
Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3739);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.


Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3688) yang diberlakukan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang
Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3739) diubah sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 1

Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :

1. Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.

2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan.

3. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor
16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.

5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang
masih harus dibayar.

6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan.

7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.

8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah pajak yang dibayar.

9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara
atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.

10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.

11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan
oleh Wajib Pajak.

12. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

13. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia."


2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 2

(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :

a. Pemindahan hak karena :
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.

b. Pemberian hak baru karena :
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. diluar pelepasan hak.

(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan."


3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 3

(1) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah objek pajak yang diperoleh :
a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum
lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

(2) Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak
pengelolaan pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah."


4. Ketentuan Pasal 6 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 6
berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 6

(1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.

(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar-menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar;
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum
dalam Risalah Lelang.

(3) Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak
yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak
Bumi dan Bangunan.

(4) Apabila Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) belum ditetapkan, besarnya Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan ditetapkan oleh Menteri."


5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 7

(1) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling
banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak
karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Ketentuan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."


6. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 9

(1) Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk :
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke Kantor Pertanahan;
e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan;
j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani
dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

(3) Tempat terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi
letak tanah dan atau bangunan."


7. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 10

(1) Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya surat ketetapan pajak.

(2) Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan
Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran
lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.

(3) Tata cara pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri."


8. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 18

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan
pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat
keputusan tersebut.

(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.


9. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 19

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung
sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding."


10. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 20

(1) Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan
oleh Menteri karena :
a. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, atau
b. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau
c. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan
yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan.

(2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri."


11. Ketentuan Pasal 23 diubah dan diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1(satu) ayat yaitu
ayat (1a), sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 23

(1) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan
imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh
persen) untuk Pemerintah daerah yang bersangkutan.

(1a) Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagikan kepada
seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota secara merata.

(2) Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan
imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Propinsi yang bersangkutan
dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

(3) Tatacara pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri."


12. Ketentuan Pasal 24 diubah dan diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu
ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 24

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan
hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

(2) Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

(2a) Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan
pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat
keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

(3) Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat
hanya dapat dilakukan oleh pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib
Pajak menyerahkan bukti pembayaran Pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan."


13. Ketentuan Pasal 26 diubah, diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu
ayat (2a), diantara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a), dan ayat (4)
dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 26

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan
sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus
ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi dan denda
sebesar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

(2a) Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2a), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(3) Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3a) Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.


14. Diantara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 2 (dua) Pasal yaitu Pasal 27A dan Pasal 27B
yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 27A

Terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 27B

Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang diberlakukan dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Menjadi
Undang-undang, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan
pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini."


Pasal II

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan atas Undang-undang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan."


Pasal III

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI







LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 130





PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2000

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997
TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

UMUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap
orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara
merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegotongroyongan nasional sebagai peran
serta masyarakat dalam membiayai pembangunan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999, ketentuan-ketentuan
perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan dengan Undang-undang.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan.

Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus memperhatikan asas-asas keadilan,
kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan serta didukung oleh sistem administrasi perpajakan
yang memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Sehubungan dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 yang bersamaan dengan
terjadinya perubahan tatanan perekonomian nasional dan internasional, berpengaruh terhadap
perubahan perilaku perekonomian masyarakat sehingga perlu diakomodasikan dengan penyempurnaan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997.

Berpegang teguh pada asas-asas keadilan, kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan, arah dan
tujuan penyempurnaan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a. menampung perubahan tatanan dan perilaku ekonomi masyarakat dengan tetap berpedoman
pada tujuan pembangunan nasional di bidang ekonomi yang bertumpu pada kemandirian
bangsa untuk membiayai pembangunan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari
penerimaan pajak;
b. lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pelaku ekonomi untuk
berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kewajibannya.

Berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tersebut,
maka pokok-pokok perubahan sebagai berikut :
a. memperluas cakupan objek pajak untuk mengantisipasi terjadinya perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan dalam bentuk dan terminologi yang baru;
b. meningkatkan disiplin dan pelayanan kepada masyarakat serta pengenaan sanksi bagi
pejabat dan Wajib Pajak yang melanggar;
c. memberikan kemudahan dan perlindungan hukum kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajibannya;
d. menyesuaikan ketentuan yang berkaitan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848).


PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 1

Cukup jelas

Angka 2

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Angka 1)

Cukup jelas

Angka 2)

Cukup jelas

Angka 3)

Cukup jelas

Angka 4)

Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang
khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan
atau bangunan kepada orang pribadi atau badan
hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah
wasiat meninggal dunia.

Angka 5)

Cukup jelas

Angka 6)

Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan
atau badan hukum lainnya adalah pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau
badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum
lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan
Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.

Angka 7)

Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
adalah pemindahan sebagian hak bersama atas
tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan kepada sesama pemegang hak bersama.

Angka 8)

Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan
pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana
yang tercantum dalam Risalah Lelang.

Angka 9)

Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi
peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum
sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan
dalam putusan hakim tersebut.

Angka 10)

Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua
badan usaha atau lebih dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha
dan melikuidasi badan usaha lainnya yang
menggabung.

Angka 11)

Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau
lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan
usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang
bergabung tersebut.

Angka 12)

Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan
usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan
cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan
sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha
baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi
badan usaha yang lama.

Angka 13)

Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa
penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum
kepada penerima hadiah.

Huruf b

Angka 1)

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena
kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak
baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari
Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.

Angka 2)

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar
pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah
kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara
atau dari pemegang hak milik menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (3)

Huruf a

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Huruf b

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu
sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan
yang berlaku.

Huruf c

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Huruf d

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Huruf e

Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas
satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik
atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang
semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan satuan yang bersangkutan.

Huruf f

Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan
peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk
keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian
dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja
sama dengan pihak ketiga.

Angka 3

Pasal 3

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang
digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat
maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang
semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.

Huruf c

Badan atau perwakilan organisasi internasional yang dimaksud
dalam pasal ini adalah badan atau perwakilan organisasi
internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah.

Huruf d

Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak
dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang
Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah.

Contoh :
1. Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya
perubahan nama;
2. Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik
atau sejenisnya) menjadi hak baru.

Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya
memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama.

Contoh :

Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan
baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB.

Huruf e

Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi
atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya
yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan
apapun.

Huruf f

Cukup jelas

Ayat (2)

Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain
berisi tata cara menghitung besarnya Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan atas objek pajak yang diperoleh karena waris.

Angka 4

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang
terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Huruf j

Cukup jelas

Huruf k

Cukup jelas

Huruf l

Cukup jelas

Huruf m

Cukup jelas

Huruf n

Cukup jelas

Huruf o

Cukup jelas

Ayat (3)

Contoh :

Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak (harga transaksi) Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan tersebut yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah
sebesar Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah), maka yang
dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dan
bukan Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

Ayat (4)

Cukup jelas

Angka 5

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak ditetapkan secara regional adalah penetapan Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing Kabupaten/Kota.

Contoh :

1. Pada tanggal 1 Februari 2001, Wajib Pajak "A" membeli tanah
yang terletak di Kabupaten "AA" dengan Nilai Perolehan Objek
Pajak (NPOP) Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk
perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, untuk Kabupaten "AA" ditetapkan sebesar
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Mengingat NPOP
lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak
tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.

2. Pada tanggal 1 Februari 2001, Wajib Pajak "B" membeli tanah
dan bangunan yang terletak di Kabupaten "AA" dengan NPOP
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). NPOPTKP untuk
perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, untuk Kabupaten "AA" ditetapkan sebesar
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Besarnya Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dikurangi
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sama dengan
Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah), maka perolehan
hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.

3. Pada tanggal 2 Maret 2001, Wajib Pajak "C" mendaftarkan
warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota
"BB" dengan NPOP Rp 400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah). NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris
untuk Kota "BB" ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPKP adalah
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dikurangi
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sama dengan
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), maka perolehan
hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.

4. Pada tanggal 2 Februari 2001, Wajib Pajak orang pribadi "D"
mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang
tanah yang terletak di Kota "BB" dengan NPOP
Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas
atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat,
termasuk suami/istri, untuk kota "BB" ditetapkan sebesar
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Mengingat NPOP
lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak
tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.

Ayat (2)

Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain :
1. NPOPTKP ditetapkan untuk masing-masing Kabupaten/Kota
dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah;
2. NPOPTKP dapat diubah dengan mempertimbangkan
perkembangan perekonomian regional.

Angka 6

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta dalam pasal ini adalah tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Yang dimaksud dengan sejak tanggal penunjukan pemenang
lelang adalah tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh
Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memuat antara lain nama pemenang lelang.

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Huruf j

Cukup jelas

Huruf k

Cukup jelas

Huruf l

Cukup jelas

Huruf m

Cukup jelas

Huruf n

Cukup jelas

Huruf o

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Angka 7

Pasal 10

Ayat (1)

Sistem pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah self assessment dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan
untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan
menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya
surat ketetapan pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Angka 8

Pasal 18

Cukup jelas

Angka 9

Pasal 19

Cukup jelas

Angka 10

Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan
Objek Pajak, contoh :

1. Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang
memperoleh hak baru melalui program pemerintah
di bidang pertanahan;

2. Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi
yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah.

Huruf b

Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan
sebab-sebab tertentu, contoh :

1. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah
melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah
yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;

2. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah
sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan
oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus;

3. Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi
dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan
perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus
melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang
usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

Huruf c

Contoh :

Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain,
untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu,
pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari
keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan
Sosial Masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Angka 11

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (1a)

Cukup jelas

Ayat (2)

Bagian Daerah dibagi dengan perincian sebagai berikut :

a. bagian Propinsi yang bersangkutan sebesar 16%
(enam belas persen), atau 20% (dua puluh persen) dari
80% (delapan puluh persen);

b. bagian Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 64%
(enam puluh empat persen), atau 80% (delapan puluh persen)
dari 80% (delapan puluh persen).

Ayat (3)

Cukup jelas

Angka 12

Pasal 24

Ayat (1)

Penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan
fotokopi pembayaran pajak (Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan) dan menunjukkan aslinya.

Ayat (2)

Yang dimaksud Pejabat Lelang Negara adalah Pejabat Lelang pada
Kantor Lelang Negara Kelas I dan Pejabat Lelang Kelas II.

Ayat (2a)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud pendaftaran peralihan hak atas tanah adalah
pendaftaran hak atas tanah pada buku tanah yang terjadi karena
pemindahan hak atas tanah.

Angka 13

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (2a)

Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat dalam
pasal ini, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (3a)

Cukup jelas

Angka 14

Pasal 27A

Cukup jelas

Pasal 27B

Cukup jelas

Pasal II

Cukup jelas

Pasal III

Cukup jelas




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3988

0 komentar:

Posting Komentar

Return top